Undang-undang cipta kerja yang baru disahkan oleh pemerintah, masih menjadi polemik di masyarakat. undang-undang yang disahkan ini diharapkan mampu mengundang lebih banyak investor datang ke Indonesia sehingga dapat membuka lapangan pekerjaan yang lebih banyak bagi seluruh masyarakat di Indonesia. Namun, di tengah tujuan pembentukan undang-undang ini, banyak pula pihak yang merasa undang-undang ini menjadi tumpeng tindih dengan perundangan lain yang mengatur spesifik ke salah satu bidang usaha, Minyak dan Gas (Migas) misalnya.
Salah satu hal yang menjadi sorotan adalah pertentangan pasal yang tercantum pada undang-undang cipta kerja dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas. Salah satu hal yang mencolok pada kedua undang-undang tersebut adalah terkait izin usaha. Menurut Pasal 5 UU Cipta Kerja, kegiatan usaha migas bumi dilaksanakan berdasarkan perizinan berusaha dari pemerintah pusat, sementara pada pasal 6 UU Migas, kegiatan usaha hulu Migas dilaksanakan melalui Kontrak Kerja Sama (KKS). Perbedaan pernyataan dalam kedua undang-undang yang berlaku ini menimbulkan kebingungan tersendiri bagi para pelaku usaha di bidang migas.
Ketidakpastian perizinan berusaha ini coba diredam oleh Menteri ESDM, Arifin Tasrif yang mengatakan bahwa pemerintah dan DPR sepakat pembahasan detail aturan itu akan masuk di revisi UU Migas karena Sub-klaster minyak bumi tetap UU Migas yang mana pembahasannya akan dimulai pada tahun 2021.
Dengan kondisi ini, beberapa pengamat justru ragu UU Cipta Kerja bisa menarik investor Migas di Indonesia. Alhasil, harapan untuk menaikkan lifting migas dan membuka lapangan pekerjaan baru di hulu migas melalui UU Cipta Kerja sulit terwujud. Bagaimana pendapat rekan-rekan migas terhadap pengesahan Undang-undang Cipta Kerja ini?
Sumber:
1. katadata.co.id
2. kompas.com
3. bisnis.tempo.co
4. pushep.or.id